Tiga Sketsa di Satu Malam - Sketsa 1

Sketsa 2

Setelah pulang formas, aku masih harus menunggui kekasihku, memastikan apa dia mau pulang denganku atau tidak. Aku menunggu di gerbang belakang kampus. Tadinya ingin duduk di palang tepat di depan bagian pagar yang terbuka,, ternyata ada dua pasang muda-mudi yang sedang indehoy tanpa peduli dengan keadaan sekitarnya dan itu membuatku risih. Tapi bukan itu sketsa yang ingin kuceritakan. Akhirnya aku menemukan tempat untuk menunggu yang pas di luar gerbang belakang itu, yaitu di dekat seorang bapak tukang parkir. Sambil menghampiri bapak itu, aku sapa basa-basi "jaga sampai malam, pak?". Ah. Ternyata bapak itu merespon dengan baik. Sepertinya memang beliau butuh teman bicara di sela-sela kesepian beliau menunggui motor-motor dan mobil-mobil yang terparkir di sekitar gerbang belakang itu. Tidak banyak sebenarnya hal-hal yang kami bicarakan. Kami hanya berputar-putar tentang bagaimana bapak itu menjaga mobil dan motor di sini, lalu cerita kasus-kasus pencurian yang pernah terjadi, tentang mahasiswa-mahasiswa yang bapak itu kenal karena menitipkan mobil dan motor mereka, dan banyak hal lagi.

Aku memang paling suka memulai pembicaraan spontan dengan orang-orang seperti mereka, orang-orang yang terpaksa memilih jalan berat untuk tetap bisa menghidupi keluarga mereka, karena banyak kebijaksanaan yang bisa kita dapat dari mereka. Mungkin lebih karena mereka sudah lebih lama hidup di dunia ini. Bisa pula karena jalan hidup yang berat mengajarkan mereka banyak hal dan lebih banyak kebijaksanaan ketimbang kita yang dari kecil sampai sebesar ini hanya hidup mapan. Atau bisa jadi karena Allah menciptakan orang-orang seperti mereka dengan setangkup kebijakan yang takkan pernah bisa habis termakan waktu. Bicara lama dan panjang lebar seperti menemukan sosok orangtua yang mungkin lama tidak kita jumpai untuk orang rantau seperti diriku. Bercerita dengan mereka bukan seledar untuk membunuh waktu, namun lebih banyak untuk menyerap saripati kebijaksanaan dan mendewasakan kita dalam kehidupan. Seringkali kita lebih banyak berinterakjsi dengan teman sebaya kita, menjadikan teman-teman kita tempat berbagi, tapi rasanya kebijaksaan dan nasihat yang terlontar masih kalah bijaksana dengan orang-orang yan kugambarkan tadi. Menyenangkan, sangat menyenangkan. Itu membuat kita jadi tersadar bahwa kita hanya orang yang masih kecil sekali di dunia ini, baru bisa merasakan kesenangan saja, itupun secuil. Seringkali kita marah karena ada orang yang mengganggu kita dengan semena-mena, marah karena hal-hal kecil yang menurut subjektif kita itu penting, sedih karena hal-hal ederhana yang tidak terlalu prinsipil. Rasanya semua itu masih kalah, karena bapak tukang parkir itu dan orang-orang semacama beliau lebih mengerti makna kebahagiaan dan kesedihan secara mendalam.

Coba kawan, lebih banyak selami kebijaksanaan dunia ini lewat orang-orang seperti mereka, karena aku yakin Allah mengirimkan mereka bukan untuk menjadi beban dunia, tapi untuk menjadi warna yang memperindah sketsa kehidupan kita.